Makalah
Sosiologi Seni
PERUBAHAN
SOSIAL DALAM TARIAN RAPA’I GELENG YANG TERJADI DITENGAH MASYARAKAT SENI
Oleh
Abdul
Wahab
04232011
Dosen
Yulimarni,
S.Sn.,M.sn
Yuliarni,
S.Sn.,M.Sn
KEMENTRIAN
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
INSTITUT
SENI INDONESIA PADANGPANJANG
FAKULTAS
SENI RUPA DAN DESAIN
JURUSAN
SENI KRIYA
2012/2013
Assallamuallaikum
wr, wb.
Segal Puji hanya milik Allah semata, Syukur
kehadirat Allah
Subhanahu Wata’ala, atas segala Rahmat dan karuniaNYA, sehinga dapat menyelesaikan
tugas sosiologi seni, dengan begitu makalah
yang diangkat berjudul: Perubahan Sosial Dalam Tarian
Rapa’i Geleng Yang Terjadi Ditengah Masyarakat Seni.
Terwujudnya makalah ini juga tidak lepas dari
berbagai pihak yang telah membantu baik itu bersifat moril maupun materil,
sehingga laporan ini dapat tercapainya sebagaimana mestinya. Untuk itu pada
kesempatan ini tidak lupa diucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada:
Yuliarni, S.Sn, M.Sn dan Yulimarni,
S.Sn, M.Sn selaku Dosen Pembimbing mata Kuliah ini, serta
Rekan-rekan Anggota Mahasiswa angkatan
2011 dan teman dari Aceh yang selalu membantu baik secara
moril maupun
untuk suksesnya makalah
ini.
Atas segala bantuannya di harapkan, semoga
Allah SWT membalas segala kebaikan dengan Anugrah
yang melimpah. Sangat di sadari tidak ada kesempurnaan, karena kesempurnaan itu hannya
milik Allah SWT. Begitu
juga dengan tulisan ini. Saran dan kritik merupakan sesuatu yang berguna dalam
meningkatkan kearah lebih baik di masa akan datang. Akhir kata di harapkan makalah ini
dapat berguna dan bermanfaat bagi pecinta seni pada umumnya. Terimakasih.
Padangpanjang,
08-11-2012
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar..........................................................................................................
I
Daftar Isi....................................................................................................................
II
A.
Bab
1 PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang..........................................................................................
1
2.
Permasalahan.............................................................................................
1
B. Bab 2 PEMBAHASAN
a.
Pengertian Rapa’i
Geleng...................................................................2
b.
Hubungan Rapa’i Geleng dengan
Masyarakat..................................6
c.
Perkembangan rapa’i
geleng...............................................................7
C.
Bab
3 PENUTUP
1. Kesimpulan.................................................................................................8
2. Saran............................................................................................................9
D.
Bab
4 KEPUSTAKAAN
BAB
1
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Jauh sebelum diproklamasikannya Republik
Indonesia, Aceh adalah sebuah negeri berdaulat dan dikenal sebagai kerajaan
Islam pertama di Asia Tenggara. Mencapai puncak kejayaan pada masa Sultan
Iskandar Muda. Pada abad 16, Aceh pernah tercatat sebagai salah satu kerajaan
Islam besar di dunia.
Posisi Aceh yang dekat dengan laut,
mejadikannya sebuah wilayah persinggungan berbagai budaya dari seluruh dunia.
Tercatat sejak abad 8, Aceh menjadi tempat strategis untuk persinggahan
pelayaran bagi para pedagang yang berasal dari Arab, Persia, Turki, maupun
Spanyol yang hendak menuju Cina maupun India. Beberapa pedagang menetap di Aceh
dan melangsungkan perkawinan dengan perempuan Aceh, Maka terjadilah akulturasi
budaya.
Salah satu tradisi yang menjadi warisan
turun temurun adalah penggal budaya berupa karya kesenian. Dalam konteks Aceh,
kesenian sebagai bagian dari kebudayaan tidak terlepas dari nilai–nilai tradisi
masyarakatnya. Seni yang dimaksud adalah kemampuan seseorang atau sekelompok
untuk menampilkan hasil karya di hadapan orang lain. Dalam konteks masyarakat
Aceh dahulu, seseorang yang mempunyai nilai seni, maka ia akan menjadi sosok
yang akan menjadi perhatian. Sejumlah sumber tertulis menyebutkan, ada beberapa
jenis kesenian Aceh, diantaranya Meudike, Seudati, Rukoen, Rapai Geleng, Rapai
Daboeh, Biola Aceh, Saman, seulaweut dan sebagainya. Sepintas lalu, kegiatan
seni yang dilakukan bertujuan untuk menghibur diri atau kelompok tertentu. Tapi
sebenarnya, mengandung banyak makna, utamanya internalisasi nilai budaya lokal
yang kuat dan mengakar yang pada gilirannya menjadi corak yang khas.
2.
Permasalahan
a.
pengertian rapa’i geleng
b.
hubungan rapa’i geleng dengan masyarakat
c.
perkembangan rapa’i gelenng
BAB
2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rapa’i Geleng
Rapa'i adalah salah satu alat tabuh seni
dari Aceh. Rapa'i terbagi kepada beberapa jenis permainan, Rapa’i geleng salah
satunya. Rapai Geleng dikembangkan oleh seorang anonim di Aceh Selatan.
Permainan Rapa'i Geleng juga disertakan gerakan tarian yang melambangkan sikap
keseragaman dalam hal kerjasama, kebersamaan, dan penuh kekompakan dalam
lingkungan masyarakat. Tarian ini mengekspresikan dinamisasi masyarakat dalam
syair (lagu-lagu) yang dinyanyikan, kostum dan gerak dasar dari unsur tari
Meuseukat.
Fungsi dari tarian ini adalah syiar
agama, menanamkan nilai moral kepada masyarakat, dan juga menjelaskan tentang
bagaimana hidup dalam masyarakat sosial. Rapa'i geleng pertama kali
dikembangkan pada tahun 1965 di Aceh Selatan. Saat itu tarian Rapa'i Geleng
dibawakan pada saat mengisi kekosongan waktu santri yang jenuh usai belajar.
Lalu, tarian ini dijadikan sarana dakwah karena dapat membuat daya tarik
penonton yang sangat banyak.
Jenis tarian ini dimaksudkan untuk
laki-laki. Biasanya yang memainkan tarian ini ada 12 orang laki-laki yang sudah
terlatih. Syair yang dibawakan adalah sosialisasi kepada mayarakat tentang
bagaimana hidup bermasyarakat, beragama dan solidaritas yang dijunjung tinggi.
Tarian
Rapai Geleng ada 3 babak yaitu:
1. Saleum
(Salam)
2. Kisah
(baik kisah rasul, nabi, raja, dan ajaran agama)
3. Lani
(penutup)
Nama Rapa'i diadopsi dari nama Syaikh
Rifa'i yaitu orang pertama yang mengembangkan alat musik pukul ini. Syair yang
dibawakan tergantung pada syahi. Hingga sekarang syair-syair itu banyak yang
dibuat baru namun tetap pada fungsinya yaitu berdakwah.
Contoh syhair Rapa’i Geleng:
Rapai-i
Geleng; Pesan Perlawanan dalam Tarian Aceh
Alhamdulilah pujoe keu Tuhan
Nyang peujeuet alam langet ngon donya
Teuma seulaweuet ateueh janjongan
Pang ulee alam rasul ambiya
Nanggroe Aceh nyoe teumpat lon lahe
Bak ujong pante pulo Sumatra
Dilee baroe kon lam jaroe kaphe
Jinoe hana le aman seuntosa
Segala Puji kepada
Tuhan
Yang telah menciptakan
langit dan dunia
Selawat dan salam pada
junjungan
Penghulu alam Rasul
Ambiya)
Daerah Aceh ini tempat
lahirku
Di ujung pantai pulau
Sumatera
Dulu berada di tangan
kafir
Kini telah aman dan
sentosa
Kostum
yang dipakai berwarna hitam, kuning berpadu manik-manik merah, serempak
menggeprak panggung dengan duduk bersimpuh. Gerakannya diikuti tabuhan Rapa'i
yang berirama satu-satu, lambat, lama kemudian berubah cepat di iringi dengan
gerak tubuh yang masih berposisi duduk bersimpuh, meliuk ke kiri dan ke kanan.
Gerakan cepat kian lama kian bertambah cepat.
Pada
dasarnya, ritme gerak pada tarian rapai geleng hanya terdiri dalam empat
tingkatan; lambat, cepat, sangat cepat dan diam. Keempat tingkatan gerak
tersebut merupakan miniatur karakteristik masyarakat yang mendiami posisi
paling ujung pulau Sumatera, berisikan pesan-pesan pola perlawanan terhadap
segala bentuk penyerangan pada eksistensi kehidupan Agama, politik, sosial dan
budaya mereka.
Pada
gerakan lambat, ritmi gerakan tarian Rapa'i Geleng tersebut coba memberi pesan
semua tindakan yang diambil mesti diawali dengan proses pemikiran yang matang,
penyamaan persepsi dan kesadaran terhadap persoalan yang akan timbul di depan
sebagai akibat dari keputusan yang diambil merupakan sesuatu yang harus
dipertimbangkan dengan seksama. Maaf dan permakluman terhadap sebuah kesalahan
adalah sesuatu yang mesti di berikan bagi siapa saja yang melakukan kesalahan.
Pesan dari gerak beritme lambat itu juga biasanya diiringi dengan syair-syair
tertentu yang dianalogikan dalam bentuk-bentuk tertentu. Sebagai contoh bisa
tergambar dari nukilan syair dari salah satu bagian tarian.
Contoh syhair dalam tarian:
Meunyo ka hana raseuki,
Nyang bak bibi rhot u lua
Bek susah sare bek seudeh hate,
Tapike la'en tamita
Kalau sudah tak ada
rezeki,
Yang sudah di bibir pun
jatuh ke luar
Janganlah susah, jangalah bersedih hati,
Mari kita pikirkan yang
lain untuk di cari
Kata raseuki
yang bermakna rezeki dalam syair di
atas, merupakan simbol dari peruntungan. Bagi masyarakat Aceh, orang yang
melakukan perbuatan baik kepada mereka dimaknakan sebagai sebuah keberuntungan.
Makna sebaliknya, ketika orang melakukan perbuatan jahat, maka masyarakat Aceh
mengartikan ketak beruntungan nasib mereka, dan ketak beruntungan itu merupakan
permaafan.
Gerakan
beritme cepat adalah gerak kedua, sesaat pesan yang terkandung dalam gerakan
beritme lambat namun sarat makna usai dituturkan. Pada gerakan ini, pesan yang
disampaikan adalah pesan penyikapan ketika perbuatan jahat, yang dimaknakan
sebagai ketakberuntungan nasib, kembali dilakukan oleh orang atau institusi
yang sama. Penyikapan tersebut bisa dilakukan dalam bentuk apapun, tapi masih
sebatas protes keras belaka. Seperti bunyi syair di bawah;
Hai la'ot sa
Ilak umbak meu-
Alon kapai di-
Ek tron meulumba
Lumba hai bacut treuk
Salah bukon sa-
Salah loen, salah phoen awai bak gata.
(Wahai Laut yang berombak mengayunkan
kapal naik dan turun sedikit lagi kemasukan air, itu bukan salah ku, engkaulah
yang mengawalinya)
Gerakan beritme cepat ini tak lama,
kemudian disusul dengan gerakan tari beritme sangat cepat mengisyaratkan chaos
menjadi pilihan dalam pola perlawanan tingkat ketiga. Sebuah perlawanan disaat
protes keras tak diambil peduli. Tetabuhan rapa-i pada gerakan beritme sangat
cepat inipun seakan menjadi tetabuhan perang yang menghentak, menghantam
seluruh nadi, membungkus syair menjadi pesan yang mewajibkan perlawanan dalam
bentuk apapun ketika harkat dan martabat bangsa terinjak-injak. Cuplikan sajak
“perang” nya (alm) Maskirbi yang biasa dilantunkan menjadi syair dalam gerakan
beritme cepat pada tarian rapai geleng ini bisa menjadi contoh sederetan syair-syair
yang dijadikan pesan.
Doda
iedi hai sie doda seulayang blang ka putoh taloe, Beureujang rayeuk hay banta
sidang Jak tulong prang musoh nanggro. Beureujang rayeuk hay banta sidang Jak
tulong prang musoh nanggro.
(Doda
idi hai doda idang) Nyanyian nina bobo untuk anak- layangan sawah telah putus
talinya cepatlah besar wahai ananda pergilah, perangi musuh negeri).
Pada
titiknya, semua gerakan tadi berhenti, termasuk seluruh nyanyian syair. Ini
merupakan gerakan akhir dari tarian. Gerakan diam merupakan gerakan yang
melambangkan ketegasan, habisnya semua proses interaksi.
B.
Hubungan
Rapa’i Geleng dengan Masyarakat
Masyarakat aceh menggunakan peralatan
dan menyelenggarakan pertunjukan musik Rapa’i Geleng dalam berbagai kesempatan
misalnya pasar malam, upacara perkawinan, ulang tahun, tarian memperingati
hari-hari tertentu, selain di mainkan secara tunggal Rapa’i Geleng dapat pula
di temukan dengan alat musik yang lain. misalnya Seurune Kalee, melodi Bulouh
perindu, Dan lain-lain sebagainya.
Masyarakat Aceh menggunakan Rapa’i Geleng
untuk mengiringi pertunjukan debus, menurut Z. H. Idris (1993-82) Debuih
(debus) adalah senjata yang terbuat dari besi runcing ujungnya dan berhulu
bundar. Senjata ini sebesar telunjuk dengan panjang kira-kira setengah jengkal.
Pertunjukan debus ini di iringi oleh seorang Khalifah yang memiliki ilmu kebal
sehingga badannya tidak terluka oleh benda tajam yang dapat melilitkan rantai
panas ke tubuh nya dan mengelilingi api dan sebagainya.
Rapa’i Geleng dapat juga di gunakan
mengiringi pertunjukan dabuih (debus),
dalam pertunjukan dabuih (debus) ini
pada saat saleum (salam) , pemain Rapa’i
Geleng memukul alat musiknya dengan tempo lambat.
Rapa`i
Geleng pertama kali dikembangkan pada tahun 1965 di Pesisir Pantai Selatan.
Nama Rapa`i Geleng diadopsi dari nama Syeik Ripa`i geleng yaitu orang pertama
yang mengembangkan alat musik pukul ini. Permainan Rapa`i Geleng juga
disertakan gerakan tarian yang melambangkan sikap keseragaman dalam hal
kerjasama, kebersamaan, dan penuh kekompakan dalam lingkungan masyarakat.
Tarian ini mengekspresikan dinamisasi masyarakat dalam syair (lagu-lagu) yang
dinyanyikan. Fungsi dari tarian ini adalah syiar agama, menanamkan nilai moral
kepada masyarakat, dan juga menjelaskan tentang bagaimana hidup dalam
masyarakat sosial.
C.
Perkembangan
Rapa’i Geleng.
Dalam kenyataannya,
kesenian tradisional Aceh sudah lama dipengaruhi oleh nilai-nilaiyang
berkembang pada masa dulu yaitu nilai-nilai Islami. Dalam segala bidang ajaran Islam
telah merasuk ke semua sendi-sendi kehidupan masyarakat Aceh, mulai dari
siasat peperangan, kesenian, pergaulan masyarakat (solidaristas),
pendidikan sampai kepadakeyakinan dan kehidupan sosial lainnya. Dengan demikian
kesenian tradisional Aceh identik dengan seni yang bernuansa Islami, begitu
pula bentuk-bentuk kesenian yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Aceh,
sampai saat ini dapat di identifikasi menjadi kesenian bernuangsa Islami.
Seni Dalam Budaya
Moderen (Kreasi Baru)Walaupun masyarakat Aceh sangat kuat berpegang pada hukum
Islam (syariat Islam) tetapi prilaku, pola dan cara hidup tidak terlepas dari
budaya modern. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari khususnya
masyarakat yang berdomisili di kota. Kemajuan zaman yang orientasinya pada pola
hidup modern dan budaya materialistik menyebabkan terjadinya dekonstruksi
budaya lokal dan terjadinya disharmonisasi pada tatanan nilai-nilai lokal
genius atau tradisi yang sudah lama mengakar, yang sudah menjadi sesuatu
kebiasaan dalam masyarakat Aceh. Dalam hal ini dalam wakturelatif lambat juga
terjadi pada masyarakat yang hidup di pedesaan atau masyarakat yang masih tebal
memegang nilai-nilai lamanya. Potensi akan bergesernya nilai-nilai yang hidup.
BAB 3
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Tari Rapa’i Geleng
adalah salah satu jenis kesenian rakyat yang dianggap mampu mewakili nilai-nilai
identitas dan simbol budaya bagi eksistensi masyarakat Aceh khususnya didataran
rendah pesisir pantai, saat ini telah dimanfaatkan sebagai media propaganda organisasi
politik kekuasan. Pada hal tari ini telah mengalami proses waktu
yang panjang dan merupakan hasil konvensi dari akumulasi komunitas etnik
Aceh saat itu. Sebagai fungsi media ekspresi bagi masyarakat tersebut yang
dapat diamati dari bentuk penyajiannya yang merupakan gambaran dari
pencitraan dan nilai ideologi budaya masyarakat Aceh saat ini. Yang artinya
pada konstruksi unsur-unsur kontektual tari Rapa’i Geleng mencirikan
karakteristik identitas budaya Aceh pada umumnya.
Unsur-unsur tersebut dalam bentuk koreografi,
elemen gerak, kostum warna tari, iringantari (syair-syair), struktur ruang (pola
lantai), dan lain sebagainya. Beberapa unsur-unsur tersebut menjadi bagian
terpenting sebagai wadah dalam mengekspresikan identitas masyarakat Aceh. Artinya
unsur kontekstual pada tari Rapa’i geleng merupakan gagasan, idea, nilai dan
ekspresi yang ”men-teks” menjadi media representasi sosio-budayamasyarakat
Aceh. Dilain hal unsur-unsur kontektual dalam tari Rapa’i Geleng begitu dekat dengan
nuansa-nuansa relegius, nilai moral, adat istiadat yang merupakan konsep simetamorfasis
dari unsur-unsur seni tradisi sebelumnya (meudalae,
meudzike dan meuratoh). Dengan demikian kesenian tradisional Rapa’i Geleng,
bukan bentuk kesenian yang bersifat individu/ tidak bisa berdiri sendiri/otonomi
tetapi bersifat kolektif dan interaktif terjadi nilai dan berubah fungsi.
Fenomena politik tersebut terwujud dalam konstruksi teks
tari yang dapat diidentifikasi sebagai berikut;
a)
sebagai media legitimasi
kebebasankekuasan.
b)
Struktur teks memperkuat dan meneguhkan
organisasi politik yang memilikiotoritas kekuasaan pada waktu tertentu (Golkar,
PDI, PPP ).
c)
Struktur teks berpretensi pada
politik ideologi nasionalisme (orba).
d) Struktur
teks sebagai media/ corong ideologi politik penguasa daerah.
2.
Saran
Masyarakat Aceh agar membudidayakan
kesenian tradisional khususnya seni musik rapa’i geleng. Karena setiap tradisi
itu harus berkembang, dan kita harus membedakan yang mana baik dan mana yang
buruk.
Saran dari penulis untuk generasi yang akan datang,
cobalah mencari tau dan dipahami masalah kebudayaan, kesenian, kerajinan, dan
adad istiadad. karena itu semua sangat penting untuk generasi selanjutya.
BAB
4
KEPUSTAKAAN
Hidayah, Zulyani. 1996. Ensiklopedi:
Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta:PT Pustaka LP3ES.
Tamin, Feisal. 1992. Profil Propinsi Republik
Indonesia: Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara.
Situs
by: Rahmat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar